Sendu Senja
SENDU
Regina Serafine
Delapan minggu aku
mengejarmu. Segala formulasi kugunakan untuk mendapatkan hatimu. Kumiliki
motivasi yang teguh untuk menjadi pujaan hatimu.
Bagiku kamulah Prisia
Nasution. Kamulah wanita yang hadir dalam hidupku dan merangkaian bingkisan
kalbu. Meski tak kudengar khabar tentangmu, aku selalu mendoakanmu.
Aku yang selalu merindukan dirimu. Biarpun
harus kutunggu hingga ke ujung dunia,
bahkan sampai dunia berhenti berputar mengitari sang surya. Seperti
hantu setiap detik kau datang menghantuiku. Menghancurkan sistem sarafku oleh
bayangmu.
Berulang kali kucoba
menginkari anganku tuk bersamamu, namun aku tak bisa. Semua tak pernah mampu
mengubahku.
Sepanjang hidupku aku
percaya bahwa dalam dada setiap insan selalu bersemi cinta yang sempurna.
Begitu pula bunga cinta dalam jiwaku yang selalu bersemi terhadap dara yang selalu kukagumi. MHYTA.... bunga
jiwaku. Ratu di hatiku.
Tak pernah terlintas
dalam benakku, aku harus menghadapi kenyataan yang sangat pahit bila kukecap.
Aku dikeluarkan dari Seminari sebab kesalahanku sendiri. Aku bolos dari asrama
untuk menyelesaikan tugas. Cara yang aku pakai untuk menyelesaikan tugasku
keliru.
Bagiku inilah kenyataan
terberat yang pernah kuterima. Sulit untuk kuingkari. Aku tak sanggup mempertanggung
jawabkan untuk orang tuaku dan semua orang yang terelajur mendukungku di jalan
panggilan itu. Seribu pertanyaan sesak di dada. Aku tak kuasa melihat air mata
yang berlinang di kedua pipi ibuku. Tetesan air mata mengiringi kesalahan
terbesarku.
Oh Tuhan.... aku telah
berdosa terhadap ayah, ibu, dan terhadap Tuhan.
Aku rapuh. Aku lemah.
Aku tak bisa mengelak lagi. Aku hanya sebatas EX seminari.
“ Mhyta.... aku telah kembali untukmu
selamanya. Aku datang meninggalkan semua rantai yang pernah melingkariku dengan
aneka kebahagiaan yang tak terperikan. Aku pernah merajut mimpi dan cinta di
sana. Aku menemukan berjuta warna kisah hidup di sana. Kami terlahir bersama di
sana dalam palungan cinta dan bermimpi bersama untuk bertakhta di atas singgasana imamat. Namun aku tersesat
di tengah belantara perjuangan. Aku takluk oleh
laju arus sistem. Sekarang aku
bersamamu di sini untuk mengarungi kepekatan hidup yang pernah kuraih sembari
membuka lembaran baru hidupku bersamamu.” kisahku.
Mhyta menatapku lirih.
Tatapan yang menenggelamkanku dalam sorotan runcing. Sorotan dua bola mata yang
membuatku gila.
“Kamu yang sabar ya....!! Semoga orang
tuamu pelan-pelan akan bisa menerima kenyataan yang menyakitan itu. ” Imbuh
Mhyta sembari menggenggam erat tanganku.
“ Meski luka ini sakitnya abadi, tetapi
perih itu terbalut hangatnya bekas pelukanmu. Sekarang aku hanya memiliki kamu
sebagai sandaran jiwaku. Siapapun kamu aku akan sanggup tuk hadapi. Sebab aku
yakin kamulah wanita terhebat yang telah membuatku benar- benar tahu apa itu
Cinta. Bersamamu aku pun merasakan berjuta cinta yang sama seperti yang
kudapatkan di Seminari. Kisah kasih akan kurajut bersamamu. Kamulah wanita yang
sudah hadir dalam hidupku. Selama ini aku selalu percaya kamulah cahaya dalam
hatiku. Jika kamulah tulang rusukku
yang kucari pastilah takkan pernah
kulepaskan lagi karena aku tak ingin tulang rusukku hilang untuk yang kedua
kalinya. ” Terangku.
Aku masih terus menatap
Mhyta. Mata indahnya menyilaukan pandanganku. Mata yang selalu bersih dan putih
seperti mata bayi enam belas hari. Bibir tipisnya menerbangkan anganku. Deraian
rambutnya membuat duniaku berhenti berputar.
“ Aku hanya berkelana mencari untaian
arti makna. Apa sesungguhnya balasan Cinta...?? Aku sayang kamu. Aku juga takut
kehilangan kamu. Aku selalu yakin
kamulah balasan cinta itu. Cinta itu bukan teori atau hasil penelitan,
tapi gelora asmara yang selalu bersemi dalam dada setiap insan. Dan aku
percaya, inilah balasan dari penantianku. Aku benar-benar jatuh cinta kepadamu.
Kamu hadir dalam setiap mimpiku. Di setiap detakan jantungku ada namamu. ” Ungkap Myta.
Aku meraih Mhyta dalam
dekapan. Bumi cemburu melihat euforia kami. Langit memalingkan wajahnya di
balik awan. Angin berhembus perlahan menyelinap dari antara dekapan mesra yang
terangkum dalam hangatnya ciuman indah.
Aku terjaga dari
kemesraan ini, setelah aku terpanah oleh
satu cahaya bintang yang menginspirasiku untuk menciptakan sebuah karya.
“ Mhyta..... seandainya kamu dapat
melihat terang yang mengawani kita mungkin kamu tahu seperti apa dirimu
bagiku.” Gumamku.
“ Bisa lihatlah chyank ” jawab Mhyta optimis.
Mhyta menatap ke langit. Mhyta mungkin hanya
mendapati cahaya bulan yang terang benderang dibalut dengan kabut malam.
“ Salah chyank.....!!!! ”
“ Kow salah chyank....????” Tanya Mhyta
bingung.
Aku hanya tersenyum
menatap Mhyta. Kubelai Mhyta sambil menunjukkan satu bintang dibalik awan
malam.
“ Asal kamu tahu, biarpun kabut malam
menghalau cahayanya, bintang itu selalu berusaha untuk menerangi langit dan bumi.
Dan kamu tahu bagiku kamulah bintang itu. Mhyta... kamulah cahaya yang paling
terang dalam hatiku.” Jelasku.
Mhyta hanya tersenyum
dan tersipu. Sungguh tercipta sinfoni
yang lirih dalam ciuman romantis ini.
Siang sudah lama pamit.
Hilang bersama senja. Gelap sudah meliputi bumi. Aku masih bersama Mhyta di
tengah hamparan pematang sawah. Burung-burung sudah terjaga dalam sarangnya.
Jangkrik memadahkan kidung kehidupan yang keras.
Kuajak Mhyta untuk
segera kembali ke rumah. Sebab hari telah menjelang malam. Kami meninggalkan tempat yang dulunya sebagai lapangan bola kaki itu.
Petak-petak sawah itu seolah telah menyaksikan sebuah sandiwara dalam teater.
Cinta yang dasyat seperti dunia orang mati itu
sudah terpatri di tempat ini. Cinta yang bedindingkan petak-petak sawah dan
beratapkan cahaya bintang malam.
***
Petang itu datang
setelah bumi membujuk matahari untuk kembali ke tempat peraduannya. Aku baru
selesai bermain bola kaki bersama teman-teman sekampungku.
Seperti biasanya,
selesai berolahraga kami masih berkumpul lagi untuk berevaluasi tentang pola
permainan kami dan tentang lawan- lawan kami terkhusus rival abadi.
Saat aku sedang larut
dalam evaluasi ini, spontan aku mendapatkan pesan singkat dalam telepon
genggamku. Ternyata pesan itu dikirim oleh Gayatri. Dalam pesan ini Gayatri
mengatakan bahwa dia amat takut dan sedih. Selain itu, dia memintaku untuk
segera datang ke Rumah Sakit karena Mhyta sedang dirawat. Menurut dokter, Mhyta
mengalami Gagal Ginjal Kronis.
Aku terpaku dan
gementar. Bak batu-batu yang dikikis air dan bumi yang dihanyutkan oleh hujan,
demikianlah hatiku galau oleh khabar itu.
Nuraniku terkoyak oleh
dilema yang meraja. Aku bangkit dan
segera pergi tanpa menghiraukan teman-temanku yang sedang asyik dalam harmoni
evaluasi. Aku bergegas mengambil motor kawasakiku yang ada di sudut lapangan
sembari beranjak dan pergi.
Sepanjang perjalanan
ini, di dalam lubuk hatiku aku selalu berkata “ Mhyta.... everything gonna be
ok. Aku yakin kamu akan baik-baik saja.” Meskipun sejuta spekulasi hitam selalu
mengawaniku, selalu kucoba untuk
mengingkarinya.
Kedasyatan
mengejutkanku saat perjalananku sampai pada sebuah persimpangan. Sebuah sepeda
motor muncul dari persimpangan tiga dengan kecepatan yang tak terkendalikan.
Motor itu menabrakku bersama motorku. Tabrakan itu tepat mengenai kaki kiriku.
Saat aku terjaga aku sudah terkapar di antara semak
belukar. Perih merasukiku. Seluruh tubuhku terasa amat pedih.
Sosok yang menabrakku
lenyap dari hadapanku tanpa jejak. Tanpa ada kata dia enyah dariku. Kalaupun
ada, aku tidak mungkin berbuat banyak. Entahlah kapan dan di mana lagi aku akan
menjumpanya.
Aku masih terbaring tak
berdaya di antara semak belukar itu. Dalam keterpurukan ini aku masih tersenyum
untuk diriku sendiri. Mungkin inilah cara yang benar yang akan aku pakai untuk
membuktikan cintaku yang tulus pada Mhyta.
“ Berikanlah ginjalmu
untuk Mhyta supaya kamu layak mendapatkan kebahagiaanmu yaitu karena kebahagian
Mhyta.”
Dengan sisa kekuatanku
kucoba tuk bertahan biarpun luka memar memenuhi di sekujur tubuhku dan
tulang-tulangku remuk redam.
Aku tidak pernah
membenci semuanya. Bagiku inilah ujung jembatan pagar berduri yang telah aku
arungi.
Aku masih terkapar
dalam kerapuhan. Berulang kali aku berusaha untuk meminta tolong. Namun, tak
ada seorang pun yang menghampiriku. Aku terus mencoba untuk bertahan, meski
luka yang semakin memar menambah perih untukku.
Seiring bergulirnya
waktu aku masih terus berharap akan ada seseorang yang berjiwa besar untukku.
Aku hanya ingin
memberikan ginjalku untuk Mhyta sebelum Pemilik Kehidupan mengutus maleikat-Nya
datang menjemputkuaku.
Baru setelah beberapa
saat, datang dua ibu dan segera menangkatku dan mengusungku ke sebuah gubuk
rusuh di tepi jalan raya dengan lembut dan penuh hati-hati. Darah yang mengalir
di sekujur tubuhku tak dapat kutahan lagi.
Sambil menunggu
datangnya mobil, kedua ibu ini berusaha mengusap darah di wajah dan seluruh
tubuhku. Kedua ibu ini datang seperti malaikat yang mengangkatku dari lumpur
yang merendamku dalam dunia kelam.
“ Bu.... aku mohon ibu
berjanji kepadaku.”
“ Apa yang kamu
inginkan nak..!! ”
“ Aku mohon supaya ginjalku didonorkan
untuk seorang pasien yang ada di Rumah
Sakit yang sedang Gagal Ginjal Kronis. Namanya Mhyta. Aku mohon Bu....”
“ Tapi nak..... itu sangat berbahaya
untuk keselamtan kamu.”
“ Aku mohon Bu....!! ini adalah
permintaanku yang belum pernah terkabulkan untuk Mhyta. Jika memang ibu menaruh
perhatian untukku, bantulah aku untuk mengabulkan permintaanku ini. Tetapi aku
mohon Bu.... rahasiakan semua ini. Jangan pernah Mhyta tahu semua ini. ”
Pintaku sambil menggemgang tangan kedua ibu itu.
Kedua ibu itu hanya
mengangguk-angguk. Mereka tak sanggup berkata.
Tak lama kemudian
datanglah sebuah mobil Pick Up. Mobil itu pun berhenti setelah salah satu ibu
itu menahan lajunya.
Melihat keadaanku yang
semakin tak berdaya sopir Pick Up yang berbadan tegap itu bergegas turun dari
mobilnya dan segera mengangkatku dan
merebahkanku di dalam bak mobilnya.
Sungguh aku rapuh. Aku
tak dapat berjalan lagi. Aku tak sanggup berdiri dengan kokoh.
Aku pun dibawalah ke Rumah Sakit. Kedua ibu ini
masih setia bersamaku. Mereka masih terus mengusap darah di seluruh tubuhku.
Sesampai di Rumah Sakit,
aku dijemput oleh para perawat dengan
membawa tempat tidur roda. Dengan sangat hati- hati mereka mengusungku dan
bergegas membawaku ke ruang UGD. Aku merasa sangat letih. Aku merasa sesak saat
menghela nafas. Aku tak sanggup lagi untuk bergerak lebih banyak. Namun selalu
kucoba tuk sadar.
Sejanak aku mencari
kedua ibu itu. Aku berusaha berpaling ke sekelilingku untuk mencari kedua ibu
itu, namun aku nyaris tak dapat bergerak lagi. Aku terlambat menemukan
mereka. Mereka pergi entah ke mana !!!!
Aku semakin resah bila
kedua ibu yang aku anggap sebagai malaikat itu mengingkari janji mereka untuk
memenuhi permohonanku.
Aku merasa semakin letih. Aku sudah tidak kuat lagi. Aku rapuh.
Tubuhku telah remuk redam dengan berlumuran darah.
Aku merasa sudah sangat
sendiri. Aku berpikir mungkin semua harapan terakhirku akan sirnah. Aku sungguh
merasa asing di dalam ruangan gawat darurat ini. Meskin banyak perawat
merawatku di sini, tetapi aku tak menghiraukan semuanya. Aku hanya ingin
permintaanku yang terakhir ini akan terwujud.
Dengan sisa nafas di
setiap ujung hembusanku aku terus berjuang untuk dapat berkata kepada dokter
yang sedang mengusap darah pada wajahku.
“ Dokter, Aku
mohon....!! Sebelum kedasyatan Tuhan datang menjemputku dan sebelum
mataku terpejamkan untuk selamanya serta sebelum nafas terakhirku berhembus.
Aku mohon dokter mengabulkan permintaan terakhirku. Tolong Berikan Ginjalku untuk Mhyta Purnawati. Aku mohon
Dok.....”
***
Aku berdiri di samping tempat
tidur tubuhku direbahkan. Dari berlapis-lapis tembok kutemukan Mhyta yang
sedang berusaha melewati jembatan dengan pagar berduri menuju sebuah istana
yang megah. Istana di ujung jembatan itu memiliki singgaana yang cukup agung.
Aku berusaha mendapati Mhyta. Namun di hadapanku terbentang jurang yang tak
bertepi. Kini aku sedang berpijak di ujung gunung batu. Mhyta terlampau jauh
dariku.
Aku tak rela melihat
Mhyta mengarungi jembatan kiamat tersebut. Kucoba melawan dunia. Sungguh
kuingkari kenyataan yang ada di hadapanku. Aku berjuang menerjang jurang yang
ada di depanku. Aku berjuang dan terus berjuang. Meski lelah dan tak berdaya
lagi aku terus berjuang untuk melewati segala rintang yang terbentang di
depanku itu. Hingga akhirnya aku sampai di ujung jembatan sebelum kudapati
Mhyta di tengah jembatan kematian itu.
***
Saat kupalingkan wajah
aku mendapati ragaku telah di tutup dengan kain jenazah. Aku baru sadar. Aku
telah pergi dari dunia. Nyawaku telah diambil oleh Sang Empunya Nafas
Kehidupan. Aku hanya memiliki jiwa. Ragaku telah berpisah denganku.
Di sudut Rumah Sakit
itu aku melihat kedua ibu yang menolongku itu sedang berdialog dengan dokter
dan kedua orang tua Mhyta. Kedua ibu itu sungguh mengabulkan permohonanku.
Dalam percakapan
mereka, aku tahu bahwa kedua ibu itu berusaha meyakinkan orang tua Mhyta untuk
mengabulkan permintaanku.
Setalah dialog itu
mencapai kesepakatan. Orang tua Mhyta segera menandatangani surat perjanjian
tanpa menghiraukan kesediaan orang tuaku. Mereka telah sepakat bersama dokter
untuk mempertanggung jawabankan pendonoran ginjalku. Apapun yang akan terjadi
mereka siap menanggung konsekuensinya.
Mungkin aku terlalu
ego. Tidak sedikit pun menghargai tanggung jawab orang tuaku. Tetapi aku yakin
aku sudah melakukan perbuatan yang benar.
Dokter bersama timnya
segera melakukan operasi. Ragaku yang terselubung kain jenasah dibawa ke ruang
operasi. Demikian juga dengan Mhyta yang masih koma di atas tempat tidur.
Mhyta masih menggunakan
oksigen. Infus masih melilitinya. Wajah Mhyta pucat. Mungkin dia tak menyadari
apa yang sedang terjadi. Entahlah dia mengetahui kehadiranku atau tidak.
***
Aku terjaga dari palinganku. Aku masih
mendapati Mhyta yang sedang meradang kesakitan karena jahatnya jalan yang harus
ditempuhnya.
Dengan sisa kekuatanku
aku berjuang untuk terus berjalan
mendapati Mhyta. Aku harus menerjang jembatan yang berpagar duri dan
lubang–lubang besar pada jembatan
tersebut. Aku berjalan dengan hati-hati sekali.
Setelah melewati jalan
maut pada jembatan itu. Kudapati Mhyta sedang merintih. Dia tak dapat sampai ke
ujung jembatan itu lagi. Seluruh tangan dan tubuhnya tersobek pagar duri.
Kudekap erat tubuhnya. Kubelai rambutnya.
“ Chyank genggam tanganku. Aku akan
membawamu ke istana itu. Percayalah padaku.” Seruku sembari mengangkatnya untuk
berdiri.
Aku menuntun Mhyta
untuk terus berjalan sebelum kekuatan jembatan ini akan rapuh.
Mhyta belum ingin
berjalan. Mhyta menatapku lama. Aku kembali mengajaknya pergi. Namun Mhyta
terus menatapku. Matanya berkaca-kaca.
“ Chaynk berjanjilah. Kamu tak akan
meninggalkanku.!! ” Kata Mhyta masih
terus menatapku. Linangan air matanya tak sanggup dibendung lagi.
Kuusap air matanya dan
terus menatap mata indahnya. Mata yang selalu memancarkan kebahagiaan. Kubelai
indah rambutnya dan kukecup hangat keningnya.
“
Aku janji Chynk.......!!!! ”
Aku tak kuasa lagi menahan derai air mataku.
Butiran air mata berlinang mengusap pipiku. Kupejamkan mataku. Seribu tanya
sesak di dada. Dilematis meliputiku. Aku tak sanggup lagi berpikir jernih .
Mhyta mencium kedua
pipiku. Menempelkan telapak tangannya pada dadaku.
“I LOVE YOU.... I LOVE YOU........... I
LOVE TILL THE END”
“SO AM
I”
Aku membawa Mhyta pergi
dari jembatan kiamat itu. Aku terus menuntun Mhyta melewati jembatan kematian
itu. Mhyta menahan lumuran darah dan perih luka pada sekujur tubuhnya.
Sampai di ujung
jembatan itu, spontan semuanya terkoyak dan aku terpelosok. Aku terjatuh dan
tak bisa bangkit lagi. Aku jatuh bebas dari satu lubang besar pada ujung
jembatan berpagar duri itu. Aku sungguh jatuh ke dalam jurang yang belum pernah
kitemui. Tebing-tebing batu memagari kejatuhanku. Liang yang curam
meyongsongku. Aku jatuh dan tak akan bisa bangkit lagi.
Dari kedalaman jurang kiamat itu aku terus berkata untuk Mhyta yang merintih dalam kepedihan.
“ aku pergi untuk kamu benci. Aku pergi
untuk ingkari janjiku. Aku pergi untuk memberimu luka. Namun aku percaya
kelayakanku adalah menerima kebahagiaan karena kebahagianmu”
Kini pagar duri pada
jembatan itu telah berubah menjadi kembang-kembang bunga mekar yang
menyemarakkan perjalanan Mhyta untuk sampai pada singgasana dalam istana megah
itu. Istana itu adalah dunia Mhyta tanpa gagal ginjal kronis.
***
Operasi itu sudah
selesai. Dokter bersama timnya berhasil mendonorkan ginjalku untuk Mhyta. Semuanya
bahagia.
Mhyta belum sadar.
Matanya masih terpejam. namun, air matanya terlanjur menglir bagai anak sungai.
“ O.. Sang Empunya
Naphas Kehidupan, Aku mohon berikanlah
Mhyta dunia yang indah seperti embun pagi yang bersahaja.”
TAMAT
Corma Hulk (Yogyakarta, 24 Januari 2020)
Komentar
Posting Komentar