Santo HuLK



PROFESIONALITAS SEBUAH RASA YANG TAK TERSAMPAIKAN 
Kisah Karanganyar

Aku selalu jatuh cinta tanpa memiliki. Walaupun kejatuhan kali ini rasanya berbeda. Begitu hangat tetapi dingin juga. Yang pasti tak sedingin hawa Pegunungan Hermon.
Petang itu selalu datang mengahampiri hari-hariku. Kali ini petang datang dengan sebuah pemandangan yang begitu indah. Pemandangan itu sering kutemukann pada film-film Bollywood. Aku tak percaya lagi pada setiap tatapan semu. Mungkin aku sedang dilema masa lalu atas seberkas kenangan pahit akan rasa kagum masih bersemi di sudut taman hatiku. Padahal sudah sekian lama aku masih belum terjaga dari pemandangan yang terus memaksaku untuk menatap dara itu. Dia duduk dengan begitu anggun. Namun keanggunan itu perlahan sirnah oleh gaya duduknya ala aliran komunitas punk. Di ujung deretan kelompok retret itu, aku terjatuh lagi dalam palungan kasih. Kasih yang terpaut oleh paradoks rasa. Rasa ini seperti paham absurdisme yang sangat percaya bahwa eksistensi manusia tidak berarti dan tidak masuk akal. Demikian pun rasa ini. Rasa ini memang sering terbentur oleh kepentingan afeksi.
Memandangnya seperti berada di antara mekarnya bunga matahari di Brazil yang terbentang bak padang pasir di Mesir. Sementara di ujung padang itu, ada seorang dara yang sedang sibuk dengan alunan nada-nada musik pada headset yang terpasang di telingnya. Dia selalu berputar dengan sebuah gerakan yang tertata sembari tak henti dia menghirup wanginya kelopak-kelopak kembang yang bermekaran itu. Saat itu, aku mendengar untaian nada Fur Ulise karya Beethoven. Semuanya terangkai begitu semarak. Ya Tuhan, ampunilah anakmu. Aku telah lama bergulat dengan lamunanku. Tak kusadari ake sedang berada dalam suasana retret. Seharusnya aku memundurkan diri sejenak bersama komunitas untuk melihat ke dalam diri sendiri sembari merenungkan panggilan Tuhan.

Inilah ihwal yang selalu aku katakan kepada diriku. Aku selalu tergulung dalam tornado paradoks cinta. Mungkin aku sudah menjadi budak sajak. Aku selalu berusaha berimajinasi menjadi milik mereka yang kukagumi. Atau aku hanya seseorang yang pecundang rasa. Ahhhhhhh,,, aku harus kembali kepada belaian hawa Pegunungan Hermon untuk mengecap indahnya retret.
Setiap detik beranjak pergi bersama detakan jarum jam pada weker ruangan retret yang terpasang di atas pintu masuk. Dinamika demi dinamika terangkai bagai rangkaian nada canon dengan instrumen biola berdawai. Begitu meneduhkan hati. Namun, memandangnya adalah suatu momen yang mutlak tak kuabaikan sebelum tertoreh seulas senyumannya.
Itulah peristiwa pertama yang menyeretku kepadanya. Ada dua peristiwa lagi yang menurut naluriku seperti sebuah skenario yang telah dimodifikasi. Pasalnya aku tak percaya terhadap ruang dan waktu yang menuntunku ke hadapannya. Ketika itu, Romo membagi kami menjadi beberapa kelompok kecil untuk membagikan pengalaman dan perasaan bangga terhadap karya kemahasiswaan dalam tingkat perkuliahan. Aku masih belum percaya pada kenyataan bahwa aku dan dia terbelit dalam satu kelompok. Saat-saat itulah yang mengantarkanku pada sebuah pemahaman baru. Tidak ada yang pernah tahu tentang konsep penceritaan dalam sebuah skenario Tuhan. Semuanya seperti tidak masuk akal. Kita hanya bisa menjadi aktor dan artis yang siap melakoni sebuah atau beberapa penokohan berdasarkan skenario sutradara.
Aku tidak pernah menyangka dia begitu menyukai karya fiksi khususnya karya cerita pendek (cerpen). Bahkan dia adalah seorang penulis cerpen yang hebat. Dia cukup bangga dengan karyanya. Terutama karya sastranya yang menjadi judul dalam sebuah buku Antalogi Pilihan Cerpen, Cerita Rakyat, dan Puisi Mahasiswa PPGT Angkatan Ketiga (Mereka Menjadi Alasanku Untuk Tinggal). Selain itu, dia juga bangga dengan kompetensinya sebagai seorang pemimpin. Dia sering dipercayakan untuk menjadi pemimpin dalam berbagai peristiwa dan kepanitiaan. Bagiku dia seperti oase di padang gurun. Begitu lama aku merindukan pengalaman pertemuaan itu. Kerinduan itu bak rusa yang mendambakan air. Seperti sebuah pengalaman fatamorgana. Dia abstrak tapi begitu nyata. Mungkin inilah makna cinta yang dimaksudkan bahwa dia bisa menembus tanpa melukai dan dia juga bisa melukai tanpa menembusi. Namun, satu hal yang pasti bahwa dia mengekalkan.  
Inilah peristiwa ketiga yang membuatku benar-benar menyayanginya. Aku memilih dia untuk mejadi rekan kerja dalam sebuah simulasi rancangan proyek pengabdian kepada masyarakat bernuansa sastra. Sebauh dedikasi terhadap karya imajinatif. Dia hanya menjadi pilihanku. Entahlah siapa pilihan rekan kerjanya. Aku hanya tahu bahwa dia memiliki sebuah prospek yang sebanding denagn ideku. Tatapan dia amat welcome. Kita sama.
Aku hampir lupa. Dia adalah Lily.
Malam itu, aku ingin sekali menuliskan kata-kata ini. Sebelum bumi sempat terlena oleh rayuan pekat malam di pegunungan Hermor, aku ingin menarikan penaku di atas selembar kertas pada diaryku.
Tuhan,,, Engkau mencintai Lily lebih dari aku mencintainya. Jagalah dia sepanjang malam ini. Dialah pujaan hatiku. Biarlah nyanyian para Malaikat-Mu menaungi istirahatnya.
Tamat

Corma Hulk (Yogyakarta, 05 Februari 2020)

Komentar

Postingan Populer