Merongrong Di Ujung Lorong


PADA UJUNG LORONG ITU
Lorong Merongrong

Pada ujung lorong itu
Pada ujung lorong itu kutemukan dirimu,
Pada ujung lorong itu aku mengerti satu sentuhan,
Pada ujung lorong itu aku terusik oleh satu getaran,
Pada ujung lorong itu aku mengerti satu tatapan,
Pada ujung lorong itu kudapati sebutir embun kasih,
Pada ujung lorong itu aku terjatuh dalam satu pelukan,
Pada ujung lorong itu aku tenggelam dalam satu dekapan cinta,



Dia datang seperti hantu. Jatuh di hadapanku. Tak pernah  kumengerti arti kehadirannya. Tanpa diundang dia datang menghampiri diriku. Segera dia mengangkatku,  mendekapku, menuntunku, dan membawaku pergi. Tanpa suara,  tanpa desahan, tanpa bisikan sesuatu apapun dia membawaku pergi jauh dari lorong itu.
Dekapan itu lembut. Belaian itu teduh. Dekapan dan belaian itu belum pernah kurasakan.
Dia benar-benar telah membawaku pergi. Aku sudah beranjak dari ujung lorong itu. Dia telah menuntunku pergi dari ujung lorong itu. Dia juga masih tetap menjagaku dalam dekapannya. Dia sungguh menjadi penolong ragaku yang nyaris enyah dari sanubariku.
Kegelapan malam telah berhasil meliputi lorong itu. Hanya remang-remang lampu di sudut kanan lorong yang sanggup memberi cahaya untuk lorong tua itu. Semilir angin pukul dua belas pun mampu menempati lorong itu bersama para tikus sampah yang sedang berkeliaran mencari makanan. Terkadang kesunyian terpecahkan oleh jatuhnya kaleng-kaleng atau botol-botol di sepanjang lorong ketika tikus-tikus sampah sedang mencari makanan.
Aku belum mengerti makna tuntunan itu. Mungkin butuh banyak waktu bagiku untuk memahami arti tuntunan berbalut dekapan kasih itu.
Biarlah aku hanya tahu apa yang dia lakukan itu sebagai sebuah tugas. Mungkin dia petugas malam hari yang sedang  melaksanakan tugasnya. Entahlah petugas malam seperti apa??
Dia belum beranjak dari sampingku. Dia masih setia menuntunku pergi dari ujung lorong itu. Lorong sunyi yang berdindingkan lukisan-lukisan metal. Lukisan-lukisan yang terukir atas  nama kepingan-kepingan kreasi.

 Lorong yang selalu memberiku ruang untuk menagarungi duniaku. Dunia tanpa kemiskinan, tanpa penderitaan, tanpa keresahan, dan tanpa kekosongan hidup. Lorong yang memberiku jalan untuk melayang bersama bidadari-bidadari mengitari langit ke tujuh. Lorong itu sorgaku. Lorong itu memberiku sejumlah cairan pada jarum suntik, plastik dengan bahan berbubuk, batang rokok, dan botol-botol alkohol berserakan.Lorong itu juga selalu menyediakan banyak waktu bagiku untuk bersukaria bersama para dewi. Membakarku dalam bara metaforgana, kemudian mengangkatku dan menenggelamkanku dalam samudra euforia, sebelum akhirnya menjatuhkanku di atas gurun  imaji.
Dia sudah menuntunku  hampir keluar dari ujung lorong itu. Lembut dekapannya mendamaikan jiwaku. Aku belum terjaga. Atmosfir bulan september tidak berhasil menyelinap ke lorong-lorong akal sehatku.
Dia berhenti di depan sebuah tangga, setelah berhasil menuntun  ragaku keluar dari ujung lorong itu. Aku tak pernah menyadari perhentian itu. Dia menghela naphas panjang. Mungkin dia sudah tiba pada titik keletihan.
Sejenak dia memperbaiki dekapannya pada lenganku sembari mengusap segumpal busa pada mulutku dengan sapu tangan birunya. Namun bukan jera. Dia belum pernah sekalipun menjatuhkanku atau membiarkanku jatuh terjerembab di antara hamparan sampah pada ujung lorong itu.
Dia menuntunku lagi. Mendekapku sekuat tenaganya. Menaiki anak tangga demi anak tangga.
Tak pernah sekalipun aku mampu menyaksikan dan merasakan aksi kasih itu. Aku benar-benar rapuh dalam ketidaksadaranku.
Seandainya anak-anak tangga itu dapat berbicara aku ingin menanyakan semua kisah kasih dara itu untukku. Tapi kata seandainya hanya layak dalam dunia khayalan bukan dunia nyata. Kamus Besar Bahasa Indonesia terlanjur memberi makna kata seanadainya sebatas pada sepenggal angan.
Dengan sisa tenaganya, dia telah berhasil menuntunku sampai di depan sebuah pancak lapang. Puncak bangunan tua itu. Dia masih mendekapku. Sistem kebahasaan dalam otakku belum sanggup menampung sistem baru untuk mengerti semua bahasa cinta itu. Saraf-sarafku terbalut kata kosong. Tak dapat merekam satu arti. Arti tentang cinta yang tulus.
Puncak bagunan tua itu datar dan hampa. Lirih angin malam menyapa kehadiranku. Namun hembusan sendu belum mampu memberi sugesti yang kuat terhadap otakku. Bak sistem kerja otakku berhenti.
Dia membaringkanku pada puncak bangunan yang datar itu, di antara hembusan angin yang dingin. Berdindingkan sejuk angin malam dan beratapkan cahaya bintang dia menjagaku, membelaiku, dan fokus menatapku.
Bagai tercebur dalam lumpur ketidakberdayaan aku dibalut kerapuhan. Aku belum sanggup meliahat satu cahaya dalam kegelapan kesadaranku.
Dia pergi ke tepi puncak bangunan itu. Dia menatap jauh ke atas langit. Entahlah apa yang terlintas dalam benaknya. Aku tak pernah sanggup mengerti apa yang dia pikirkan. Dan mungkin dapat kuketahui apa yang terselubung dalam otaknya itu sama halnya dengan mengisi air laut ke dalam satu botol air minium. Pikirannya adalah kepunyanya. Bukan milikku untuk patut aku mengerti.
Aku terjaga saat dia kembali lagi dari pijakannya kepadaku. Dia menyentuh, mengelus, dan mencium keningku dengan lembut sebelum dia berhasil menghembuskan naphasnya di kepalaku. Hembusan itu berhasil menyelinap dari sela rambutku sampai ke ujung alam bawah sadarku.
Ah.... aku tidak pernah mengerti apa itu cinta. Tapi mungkin cinta itu dasyat. Tak seorang pun dapat menghentikan laju cinta itu. Adrenalinya tak akan pernah terciut. Dia mampu melewati lapisan-lapisan kulit bumi. Menelusuri berkilo-kilo meter padang gurun. Dia  beraksi atas nama kesejatian. Kesejatian membuatnya tegar, sabar dan tahan banting.
Dia mengangkatku dan beruasaha membantuku untuk duduk. Aku mengeluarkan   semua tenagaku dalam kerapuhan untuk bangkit. Aku masih merasa lemah meskipun aku telah berhasil bangkit dan duduk.
Sistem otakku belum bekerja dengan efektif. Aku  terlampau jatuh dalam kisah hidupku dua puluh empat tahun yang lalu.


Aku belum mengenal sosok yang hadir di hadapanku. Kubiarkan hembusan angin malam itu memperkenalkan aku dengan seorang dara di depanku itu. Dia belum berpaling dari tatapanya. Kucari sebuah wadah persembunyian agar tak tersilaukan oleh sorotan bola mata yang mengusik alam bawah sadarku itu. Namun aku tak dapat memungkiri bila sinar matanya dapat menemukan ruang persembunyianku.
Aku berniat pergi dari tatapan yang membuatku rapuh. Tatapan yang seolah menaklukkan reputasi komunitas punk drug. Aku terhenti setelah sederet kata memecahkan kesunyian tatapan syarat makna itu.
“ apa kamu sudah sadar?? ”
Kata-kata itu seperti jurang yang telah membentangkan kebuntuan pada niatku untuk pergi meninggalkannya.
“ apa kamu sudah sadar?? ”
Pertanyaan itu tergiang lagi. Kali ini berhasil memberi umpan balik pada daya responku.
“ aku di mana sekarang ??”

“ tenang,, tenang. Kita di atas puncak gedung ini.”
“ tapi kenapa aku bisa sampai di sini?? ”
“ kamu tadi pingsan di ujung lorong dasar. Kebetulan aku lewat di ujung lorong itu, jadi aku angkat dan tuntun kamu  sampai ke sini.”
“ kenapa kamu bawa aku ke sini ??” Tanyaku dengan suara lantang sambari menatapnya.
“ aku tahu, mungkin kamu tidak pernah suka melihat semua ini. Tapi kulakukan semua ini demi satu harapan. Kamu sanggup melihat wanita yang paling berhak kamu    rindukan.”
Dia berpaling padaku sebelum meneruskan kata-katanya.
“Aku sering mendapatimu bertindak keras terhadap gadis-gadis pengemis atau siapa saja yang menjadi incaran perampokanmu di ujung lorong itu. Kamu menjarah apa yang mereka punya. Kamu rampas apa yang menjadi harapan dan kekuatan mereka. Namun dari semua itu ada satu hal yang aku banggakan darimu. Di setiap tindakan kekerasanmu,        kamu tidak pernah menyakiti laki-laki. Tapi sebetulnya kamu sungguh tega. Kamu mendaratkan perbuatan keji itu di atas daratan datar kaum perempuan.”
Aku belum mampu memberikan jawaban apapun atas kata-katanya. Aku masih membeku dalam pandanganku. Aku berjuang memahami apa yang bergejolak dalam sukmaku. Aku mencari seuntai arti di palung hatiku. Mencari dan terus mencari.
Aku berusaha bangkit dan berdiri. Dia menuntunku lagi. Aku menerima tuntunan itu lagi. Pijakanku belum sempurna. Dia ada di sampingku. Aku hanya sanggup berkata “ terima kasih.”
Dia membiarkanku berdiri sendiri. Dia berdiri di belakangku. Dia tidak ingin lagi berbicara. Dia memilih untuk memaku diri dalam kebisuan.
Kutatap hamparan perumahan yang terbentang mengitari gedung tua itu.
“ baru enam belas bulan aku melihat wajah bumi, merasakan atmosfirnya, dan mendengar kicauan suara alam semesta, perempuan itu pergi meninggalkanku bersama ayahku. Perempuan yang menurut semua orang adalah seorang ibu yang telah melahirkanku. Namun bagiku dia cuma seorang perempuan bukan ibu. Hari-hari kurajut bersama ayah. Hanya bersama ayah. Semua cinta ayah ditumpahkan untukku. Segenap kasihnya dibalutkan pada tubuhku yang masih lemah. Aku besar tanpa ibu. Ayah tidak pernah memberitahu ke mana perempuan itu pergi dan di mana dia sekarang ini. Memang sebagai seorang insan yang pernah bersemayam dalam kandungan seorang perempuan aku pernah merindukan seorang ibu. Tapi setelah kucari selama dua puluh tahun aku hanya mendapatkan satu kenyataan pahit yaitu bahwa perempuan itu pergi meninggalkanku bersama ayah demi seorang lelaki yang dicintanya. Aku sungguh menabur kebencian terbesar dalam nuraniku. Aku benci melihat perempuan. Aku benar-benar membenci mereka yang terlahir sebagai perempuan.” Terangku sembari menahan       kebencianku.
Tanpa kusadari dia tidak sendiri dibelankang. Dua sosok manusia berdiri di sampingnya. Aku belum sanggup mengenal mereka. Benakku melayang untuk mencari jawaban atas identitas mereka. Aku hanya berpikir mungkin mereka adalah penjaga malam di gedung tua ini.
Tatapanku masih jauh ke depan. Aku belum berpaling untuk mendapati sosok-sosok di belakangku.
“ maafkan aku anakku. Aku memang sungguh telah memberi luka dalam hatimu. Aku bukan seorang ibu yang pantas bagimu. Tapi ada satu hal yang perlu kamu ketahui kalau  aku pergi meninggalkanmu bersama ayahmu sebab cinta. Cinta yang menuntunku untuk pergi. Cinta tak pernah bisa dipaksakan. Aku berusaha menjagamu dalam kandunganku demi nama cinta, namun cinta ayahmu hanya kepada pekerjaannya. Tak sedetikpun dia menghiraukanku. Semua waktunya hanya untuk  pekerjaannya. Aku tidak pernah menvonis cinta sebab cinta tak pernah salah. Aku pergi karena  tidak sanggup lagi menghadapi ayahmu. Aku yakin ayahmu akan bisa menjagamu tanpa kehadiranku, sebab hanya engkaulah dambaan dan harpaannya. Sepanjang usianya hanya kehadiranmu yang        selalu menjadi impian terbesarnya. Baginya kamu adalah penerus kekuasaan dalam             perusahaan terbesarnya. Aku bukan siapa-siapa baginya. Aku hanya menjadi sebutir embun di dalam hari yang menghiasi mimpi indah ayahmu. Sehingga mengikuti suara cinta adalah pilihan terakhirku setelah kutitipkanmu kepada nenekmu. Aku pergi bersama David untuk merajut hidup baru. Hidup yang selalu dilingkari cinta. Cinta yang ditaburi kesejatian, tanggung jawab, rela berkorban dan nyali yang besar. Enam belas tahun David menungguku. Menunggu dan hanya menunggu tanpa berhenti berharap. “
Aku masih memilih untuk terus menatap jauh ke depan. Pandanganku belum terhalaukan. Aku belum memilih untuk berpaling. Aku terpaku dalam pijakanku.
Sosok perempuan itu mendapatiku. Berdiri di sampingku. Dia membawakan sebuah tas. Dia terus memandangku. Menatap setiap denyutan nadiku, detakan jantung pada dadaku, dan terus menatap mataku yang telah berkaca-kaca.
Aku belum dapat menatapnya. Pekikan perang bergelora dalam sukmaku, mengoyak nuraniku dan bergejolak di bakik relung batinku.
Perempuan  itu membuka tas. Diambilnya sebuah jas hitam. Dia menatapku dan berkata.
“ setiap kali tanggal 16 september aku selalu berdoa kepada Tuhan supaya  Dia selalu menjagamu dan memberimu hati yang selalu iklas. Di ujung doaku setiap malam aku memohan kepada sang Ilahi supaya kamu sanggup untuk tegar mengetahui kisahmu dan           sanggup memaafkan aku.” Jelas ibu sembari menumpahkan seluruh penyesalannya.
Sosok perempuan itu melangkah tepat di hadapanku sembari tertunduk dan bersujud di depanku. Dia berlutut sambil memberikan jas hitam itu. Derai air mata mengiringi pemberian jas itu.
“ selamat ulang tahun anakku. Berkenanlah memaafkan aku.”
Linangan air mataku tak sanggup kubendung. Aku jatuh di depan ibu. Mendekap dan memeluknya erat. Aku menangis sejadinya. Tangisan itu akan memecahkan kepekatan dini hari. Awan – geawan akan berhenti berarakan melintasi angkasa.
Aku dan ibu menangis dan terus menangis. Penantian akan sosok seorang ibu yang berujung pada derai air mata. Tangisan nurari yang membara telah terpadamkan.

“Cinta itu mempunyai waktu, tapi bukan berarti cinta itu tidak mempunyai arti. Aku yakin akan cintaku, meskipun aku harus menunggu, sebab Tuhan pun akan tunduk kepada cinta bukan waktu.” (Kutipan dari film Jab Hai Tak Jaan)


--TAMAT--

                  
                            Corma Hulk (Yogyakarta, 11 Januari 2020)


Komentar

Postingan Populer