Dara Pemberi Lara
KEPADA DARA YANG SELALU KUKAGUMI
Regina Serafine
“Emma ,,,, aku bukan penyair yang hebat merangkai kata-kata atau seorang musikal yang pandai mendendangkan nada-nada indah untuk menjadi soundtrack hari-harimu. Tapi aku hanya seorang pecundang yang sanggup mengatakan aku cinta padamu sejak pertama kali kenalan sama kamu di depan kelas KII/30. Sejak hari kamis kedua bulan september itu kamulah inspirasiku. Hari-hari kuarungi bersama bayangmu. Aku tak bisa membahongi rasa itu. Aku akan sayang kamu dengan segenap adanya diriku hingga keabadianku.....” Kata-kata terpendamku
Pagi itu aku berjumpa dengannya di depan sekretariat jurusanku. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI). Aku melihatnya cukup tinggi. Dia datang bersama kakaknya. Kami berdiri begitu dekat. Aku berdiri dekat di sampingnya. Begitu dekat. Sambil membaca pengumuman yang ada di papan pengumuman aku menyadari kedekatan itu. Di samping hatinya cinta mengetuk jiwaku. Sungguh dia adalah gadis yang lembut.
Aku berjumpa lagi dengannya di depan kelas KII/30. Aku hanya memberi seulas senyum pagi itu saat kami akan mengikuti pengisian KRS. Detik-detik itu adalah saat menegangkan bagiku. Aku berusaha memberanikan diri untuk berkenalan dengan dirinya. Aku mencoba merangkai kata-kata yang berhasil terekam di alam sadarku.
“ Mau ikut pengisian KRS ya? ” Tanyaku bernada retoris.
“ Iya.... Kamu juga kan? ”
“ Iya. Kok tahu?”
“Aku masih ingat kamu kok. Kamu yang kemarin berdiri di depan papan pengumuman sekretariat PBSI kan? ” Tanyanya optimis.
“ Kamu yang sama cowok kan? ” Tanyaku lagi dengan sejuta kedustaan.
“Eitss,,,, berarti kamu perhatikan aku ya...” Jawabnya meretakkan keteganganku.
“ hehehe.... kebetulan saja kok. Oiya kenalan dong...!!” Pintaku
“ Aku Emma.”
“ Emma Watson ya....” Candaku
“ Maybe!! Ehh,,, Nama kamu siapa? ”
“ Givanildlo. Terserah mau panggil Givan atau Nildo. Tapi kebanyakan orang memanggilku Cornel.”
“ Hehe.... Aku panggil Nel aja. ”
Senin, 26 Agustus 2013. Pagi itu adalah hari pertama bagiku untuk mengarungi samudera perkuliahan. Pagi itu gairahku melangkahi jalan menuju kampus sangat bergelora. Aku mempersiapkan segenap jiwa dan ragaku untuk menyambut dunia baruku. Namun kedasyatan maut menghampiriku terlebih dahulu. Aku kecelakaan saat perjalananku baru seperempat dari asrama. Aku dan sepeda onthelku ditabrak sepeda motor. Aku tidak sanggup melanjutkan perjalananku menuju kampus. Aku hanya berusaha bangkit kembali meskipun ragaku begitu rapuh. Jiwaku bergetar tanpa hentinya. Aku merasa kedasyatan lalu-lintas itu sangat mengguncangkan sanubariku. Namun kucoba tuk berjalan terus agar kutemukan apotek. Aku pergi dari tempat yang selalu menjadi bumerang dalam sukmaku.
Malam itu dia menanyakan ketidakhadiranku pada hari pertama kuliah. Dia begitu peduli terhadap keadaanku saat mengetahui alasanku. Dialah dara Jawa pertama yang berkenalan denganku. Padahal aku datang dari pulau Timur. Sebuah pulau yang sangat jauh dari perhatian zaman.
Aku tidak pernah membayangkan dia rela mendengarkan cerita perjalananku yang penuh dengan lembah dan bukit. Lebih dari itu, dia mau memberiku sejuta kekuatan untuk menaklukkan dunia yang cukup keras bagai keras ombak menabrak karang. Aku suka kepadanya.
Aku berjumpa lagi dengannya pada perkuliahan hari kedua. Kali ini di depan ruang KII/22. Kala itu kami akan kuliah pendidikan pancasila. Jiwaku bergetar saat berada di sampingnya. Dia sosok yang lembut. Dia menanyakan kondisiku. Aku mencoba menunjukkan luka pada tanganku. Dia sangat kaget melihat luka di siku kiriku yang terbalut perban itu. Tetapi dengan kelembutannya dia menjamah lukaku itu. Aku menatap mata indahnya. Di bola matanya ada cahaya cinta yang menjadi kekuatan bagiku. Dia tulus memperhatikan diriku.
Dia mencarikan kelompok tugas sejarah sastra untukku. Saat aku menyadari ternyata dia sudah menggabungkanku bersama kelompoknya.
Dia juga mengajakku untuk menemui dosen sejarah sastra untuk memberitahukan alasan ketidakhadiranku pada perkuliahan hari pertama.
Aku berceritera banyak hal dengannya. Dia selalu bersedia untuk menemani hatiku yang lara setelah keganasan kecelakaan selalu mengitari kalbuku. Di satu sisi, aku sangat membenci letak asrama yang cukup jauh dari kampus dan trauma kecelakaan yang setiap detik menghantuiku. Tetapi di sisi lain, aku harus realistis dengan eksistensiku dalam lingkaran program beasiswa yang mengharuskanku tinggal di asrama. Kuakui dilematis kehadiranku di antara kenyataan dan harapan. Namun ketika aku terjaga aku begitu yakin untuk menyambut hari-hariku karena aku memilikinya. Walaupun hanya sebatas teman. Atau lebih tepatnya close friend. Teman yang selalu memberiku sebuah arti kekuatan dalam ketaklukan bak berkelana di antara hamparan gunung batu. Dia selalu setia menemaniku dengan mozaik-mozaik kata yang membentuk berjuta kekuatan untukku. Dia tulus menemaniku bersama kelembutan hatinya.
Setiap malam tiba aku semakin sanggup tuk mengingkari kegelisahanku. Aku berusaha bersandar di pundak Tuhanku sembari meresapi kata-kata-Nya. “Aku tak akan pergi meninggalkanmu sendiri. Kamu pun tak akan pernah berjalan sendiri.”
Dia berjanji akan memberikanku sebuah puisi. Puisi karangannya sendiri. Aku minta agar puisi itu bertuliskan perasaan jatuh cinta. Selain puisi tulisannya, aku juga berjanji akan memberikan sebuah cerita pendek untuknya.
Pernah kutanyakan pujaan hatinya. Dengan jujur dia menjawab kalau kekasihnya kuliah di kampus tetangga. Dia mencintai kekasihnya dengan sepenuh hati. Aku mendengar ungkapan perasaannya sembari mengakui diri sebagai satu dari sekian pengagumnya saja.
Hari demi hari kuarungi sembari meyakinkan perasaan kagumku terhadapnya. Dia telah menjadi bunga jiwaku. Dialah ratu di takhta hatiku. Dia bintang hatiku.
Hari-hari perkuliahan terus berlalu. Segalanya berubah seiring rotasi waktu. Tetapi rasa kagum itu terlanjur mengawaniku. Rasa ini masih untuknya. Kendatipun rasa kagum itu terpendam mati di lubuk hatiku. Semuanya memang telah berubah kecuali kenyataan bila aku masih pengecut. Pengecut bersama rasa cintaku.
Meskipun begitu tersiksa dalam jiwa tuk kukenang tetapi puing-puing cinta itu masih selalu bergerak membuat sebuah konstruksi kata yang nyaris tenggelam di palung hatiku. “Aku Cinta Kamu....Emma. aku sayang kamu sampai kiamatku menjemputku.”
Bak mencari sebuah inspirasi dalam kesunyian gemericik sungai aku berlari menggapai impianku di antara hamparan padang pasir untuk menemukan sebongkah cairan mineral. Sebongkah kasih yang menuntunku bersama Emma hingga kiamatku datang menjemputku. Demikianlah sketsa cinta menaungi jiwaku.
Petang itu datang bersama sebuah sentuhan jemari. Jemari bidadariku yang lembut.
“ Kamu sombong ”. Deretan kata pengiring sentuhan jemari Emma. Dia berlalu dariku.
Sejenak aku menghentikan langkahku sembari memandangnya yang hampir lenyap dari tatapanku. Kata-kata ini yang membuat sedih di hatiku. Petang itu serasa begitu kelam dalam hariku. Bagiku kata sombong adalah kata yang paling kubenci. Tak pernah sedetikpun kuimpikan untuk memilikinya atau bahkan menyandangnya. Itulah petang paling kelabu dalam hidupku.
Senin, 16 September 2013. Hari kelahiranku. Hari itu adalah hari istimewa dalam hidupku. Aku telah berusia duapuluh tahun. Kebahagiaan meliputi hariku. Aku tak sanggup mengingkari atmosfir itu. Aku terajut dalam kegembiraanku bersama keluarga, teman, sahabat, dan semua orang yang berhasil merasakan euforia hari itu. Aku bahagia.
Malam itu dia memberiku ucapan selamat itu.
“Happy birthday Cornel. Semoga panjang umur, sehat selalu, semakin disayang Tuhan dan semakin pintar ”
Ucapan ini selalu menciptakan rasa damai di sel-sel otak kecilku. Sejuta cinta memenuhi ruang hatiku. Hati yang selalu mengaguminya. Akulah secret admirer. Akulah orang yang akan selalu memujamu.
Pada hari selasa itu aku benar-benar tahu ketulusannya. Dia rela meninggalkan teman dekatnya demi bergabung bersamaku dan teman-teman untuk makan siang bersama. Aku tak pernah membayangkan dia bersedia menerima ajakanku. Saat makan dia sangat menikmati suasana itu. Dia bercanda-tawa begitu meriah bersama teman-teman. Sementara itu, aku takluk di depannya. Jantungku berdetak tak menentu. Aku tak bisa menatapnya. Adrenaliku sungguh terciut.
Pada hari rabu itu dia peduli lagi denganku. Dia menuntunku untuk menyelesaikan tugas linguistik. Rasa senang itu mengawaniku saat mendapati tatapan matanya yang peduli dengan diriku. Dia memberiku jalan tuk menyelesaikan tugas itu dengan tulus. Begitu tulus dan ikhlas. Selain itu, dia juga memberikan banyak pengetahuan tentang arti kepercayaan diri untuk berbicara di depan umum. Bagiku kehadiran dirinya seperti cahaya yang menerangi jalanku yang berpagar kerendahan diri dan rasa minder.
Malam itu kutanyakan lagi kekasih pujaan hatinya.
“ Emma... aku bisa nanya nggak? ” Tanyaku memecah kesunyian.
“ Iya bisa dong. Emang kamu mau nanya apa?” Jawabnya datar.
“ Tapi sebelumnya minta maaf ya. Karena mungkin pertanyaan ini udah buat kamu bosan.” Pintaku.
“ nggak apa-apa kok. Tanya aja...”
“Kamu serius nggak sama pujaan hatimu? ” Tanyaku dengan sejuta gemuruh di batinku.
“ Hehe,,,, kamu lucu. Kirain mau nanya apa. Aku nggak ada hubungan lagi sama dia. Aku Cuma anggap dia sebagai kakakku. Givan.. Givan.. Emang kenapa tho kamu tanya-tanya gitu ??????? ”
Aku terpaku dan membeku. Begitu lama. Aku tidak mampu merangkai kata-kata lagi. Semuanya terasa gelap. Seperti gelapnya ruangan bawah tanah.
Hingga saat ini aku masih mencintainya dalam kelemahanku. Aku akan terus menunggu kenyataan dari kata-katanya yang pernah diucapkannya.
“ I haven’t boyfriend for now. ” Emma Hadiana
“ Aku akan tunggu kamu. Aku yakin cinta itu butuh waktu. Tapi bukan berarti cinta itu tak berarti. Karena Tuhan pun akan tunduk hanya karena cinta. ” (Shah Rukh Khan)
--TAMAT--
Corma Hulk (Yogyakarta, 02 Februari 2020)
Komentar
Posting Komentar